Prasasti
Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan
"cetakan tangan" untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan
pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah
ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya C.M.
Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami
isi prasasti itu.
Hasil
penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri
berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en
Batoe-Toelis nabij Buitenzorg (Angka tahun pada Batutulis di dekat
Bogor), Pleyte menjelaskan "Waar alle legenden, zoowel als de meer
geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis,
als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen,
kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te
trachten".
(Dalam
hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih dipercayai
menunjuk kampung Batutulis yang sekarang sebagai tempat puri kerajaan
Pajajaran, masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang
tepat).
Sedikit
kotradiksi dari Pleyte adalah pertama ia menunjuk kampung Batutulis
sebagai lokasi keraton, akan tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran
lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang.
Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima
Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad
Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero
kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota
dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah
Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan
Siliwangi dengan Jalan Batutulis.
Peneliti
lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang
Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan
menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir
dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah.
Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang
termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ciliwung di
dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasih, "leuwi" (lubuk) itu biasa
dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika
bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu.
Pantun
Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa"
(Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari
kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang
sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan
dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk
pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam
berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian
tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula
ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung
yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".
Sebenarnya
hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler
(kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada
sebuah "hoff" (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan
pada kata "paseban" dengan tujuh (7) batang beringin pada lokasi Gang
Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada
pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama.
Panelitian
lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang
Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang
Saketeng berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang
lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak
terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.
Benteng
pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal
ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang
Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan
Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut.
Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian
in sampai ke Gardu Tinggi, sebenarnya didirikan pada bekas pondasi
benteng.
Selanjutnya
benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung. Deretan kios dekat
simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas
fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng
Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded.
Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati
kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada
perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi
(di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang
Gintung.
Di
Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan "benteng alam"
yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta
Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur
rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi
Jembatan Bondongan. Tebing Cipakancilan memisahkan "ujung benteng"
dengan "benteng" pada tebing Kampung Cincaw.
Pakuan Ibukota Kerajaan Sunda
Tome
Pires (1513) menyebutkan bahwa dayo (dayeuh) Kerajaan Sunda terletak
dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara
Ciliwung. Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti
batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Prasasti yang di Bogor banyak
berhubungan dengan Kerajaan Sunda pecahan Tarumanagara, sedangkan yang
di daerah Sukabumi berhubungan dengan Kerajaan Sunda sampai masa Sri
Jayabupati.
A. Kerajaan Sunda Pecahan Tarumanagara
Di
Bogor, prasasti itu ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh
dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini
tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
"ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda".
Terjemahannya menurut Bosch:
"Ini
tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8)
panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja
Sunda".
Karena
angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam
vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat
dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Beberapa
ratus meter dari tempat prasasti itu, ditemukan pula dua prasasti
lainnya peninggalan Maharaja Purnawarman yang berhuruf Palawa dan
berbahasa Sangsekerta. Dalam literatur, kedua prasasti itu disebut
Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Kebon Kopi, sebuah daerah bekas
perkebunan kopi milik Jonathan Rig. Prasasti Ciaruteun semula terletak
pada aliran sungai Ciaruteun, 100 meter dari pertemuan sungai tersebut
dengan Cisadane. Tahun 1981 prasasti itu diangkat dan diletakkan dalam
cungkup. Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris,
berbunyi:
"vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam".
Terjemahannya menurut Vogel:
"Kedua
(jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan
raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa
Tarumanagara".
Prasasti
Ciaruteun bergambar sepasang "pandatala" (jejak kaki). Gambar jejak
telapak kaki menunjukkan tanda kekuasaan yang berfungsi mirip "tanda
tangan" seperti jaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di
kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.
Menurut "Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara" parwa II, sarga 3,
halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan
Purnawarman (395-434 M) terdapat nama "Rajamandala" (Raja daerah) Pasir
Muhara.
Lahan
tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar
dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai
abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu
termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah
Kecamatan Cibungbulang.
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
"jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam"
(Kedua
jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti
Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa).
Menurut
mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa
perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi
Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama
Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga,
bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di
atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman
berukiran sepasang lebah.
Ukiran
bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti
Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para
ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala
gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal"
yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula
tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya
sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra
(matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera
Tarumanagara dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada
mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber
sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada
prasasti Ciaruteun.
Di
daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu
peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa
Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai)
Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi
keterangan berbentuk puisi dua baris :
"shriman
data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri
purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam -
padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam -
bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam".
Terjemahannya menurut Vogel :
"Yang
termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya
bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya
tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua
jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng
musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang
setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya".
Kerajaan
Taruma didirikan Rajadirajaguru Jayasingawarman dalam tahun 358 M. Ia
wafat tahun 382 dan dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi). Ia
digantikan oleh puteranya, Dharmayawarman (382 - 395 M) yang setelah
wafat dipusarakan di tepi kali Candrabaga. Purnawarman adalah raja
Tarumanagara yang ketiga (395 - 434 M). Ia membangun ibukota kerajaan
baru dalam tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai dan dinamainya
"Sundapura".
Kampung
Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu
merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi
pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu
masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih
digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke
daerah hilir.
Prasasti
Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada
Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi
penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara
ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81)
memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman
(515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima
kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas
kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka
Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.
Rakeyan
Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali
seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja
sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas
adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja
Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan
Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan
Sunda?
Nama
Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 M untuk
menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya. Baik sumber-sumber
prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa
Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di
Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai
Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162)
menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah
yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada
Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa
Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas
kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
Kehadiran
Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam
tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah
status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat
pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa
dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak),
yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai
tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari
Dewawarman I - VIII).
Ketika
pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka
Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman
pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri
seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara
karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari
Kerajaan Magada.
Suryawarman
tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan
kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan
sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur.
Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan
kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan,
Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota
Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara.
Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit
Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
Tarumanagara
sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Dalam tahun
669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya,
Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung
bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua bernama
Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan
Sriwijaya.
Tarusbawa
yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi
penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada
zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman
Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam
tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan
Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.
Karena
Putera Mahkota Galuh berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Sima dari
Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga,
Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan
Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan
perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M
Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi duakerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galuh dengan Citarum sebagai batas.
Maharaja
Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, seperti yang
sudah diungkapkan dibagian sebelumnya, di daerah pedalaman dekat hulu
Cipakancilan. Dalam cerita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya
disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi
cakalbakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.
Karena
putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera
mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris
kerajaan. Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan
Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Cicit Wretikandayun ini bernama Rakeyan
Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu
Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih
dikenal dengan Sanjaya.
Sebagai
ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang
disebut Bumi Mataram dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat
diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, Tamperan atau Rakeyan
Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari
Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.
Telah
diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula
dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri
atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk
menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Cicatih
di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang,
sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini
adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu
sekarang disimpan di Museum Pusatdengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D
96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):
D 73 :
//O//
Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha.
ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja
shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya
shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa,
ma-
D
96 : gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri
jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila.
irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak
wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i
wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh.
mangmang sapatha.
D 97 : sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.
Terjemahannya :
Selamat.
Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari
Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri
Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa,
membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri
Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di
sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam
batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir
dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar.
Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.
Sumpah
yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat
(D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di
dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang
menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua
kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup
darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu
ditutup dengan kalimat seruan, "I wruhhanta kamung hyang kabeh"
(Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).
Kehadiran
Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa
Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak
didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya
menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian sungai (Cicatih) yang
termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan
kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak
yang tidakmenunjukkan letak Ibukota Tarumanagara.
Tanggal
pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030.
Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah
selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam
segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan
gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di
lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita
Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja
Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.
Telah
diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan
Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan
sumber berita Cina yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang
terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang
mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada Raja Cina
dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang
bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei
669 M.
Tarusbawa
adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh
ketiga. Tokoh ini adalah tokoh Sanna, ayah Sanjaya dalam Prasasti
Canggal (732 M). Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa
mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena
digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora
adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang
Gurusempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu
Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua
(702-709 M).
Sebenarnya
Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara
Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat
menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong.
Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah,
adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi,
putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula
asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora
untuk merebut tahta Galuh dari Sena.
Dengan
bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerjaan di
daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh.
Sena melarikan diri ke Kalingga, ke kerajaan nenek isterinya, Maharani
Simma. Sanjaya, anak Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga
Pubasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena.
Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas
nama isterinya.
Sebelum
itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas
bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini
langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih
Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak.
Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah
menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir
pasukan.
Patih
itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena
ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu
Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahiyang
Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita "kemir"
atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Gegegr Sunten dan
dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan
dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar
Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai
pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sanjaya
mendapat pesan dari ayahnya, Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota
keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri
tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya
untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkanPurbasora,
ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta
beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi Penguasa Galuh.
Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau
hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.
Sanjaya
sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui
keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan
sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang
disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan
di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia menganngkat Premana
Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai
raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal
sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak
muda. Ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.
Penunjukkan
Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain
itu, isterinya, Naganingrum, adalah cucu Ki Balangantrang. Jadi suami
istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan
kedua Wretikandayun.
Pasangan
Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias
Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya
menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda
klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias
Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang
menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk
melakukan pembalasan.
Untuk
mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di
Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep,
puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya,
Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di
ibukota Galuh.
Premana
Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia
tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman,
baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak
mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan
Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong
angkatan tua yang harus dihormatinya.
Kedudukan
Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja
Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh
kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan
istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum
dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan
pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus
menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya,
Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan
Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga
(723 M).
Skandal
itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru
berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya
berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan
sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan
derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang
disenangi.
Untuk
menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan
sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh
pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki
Balangantrang.
Dalam
tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orangtuanya.
Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian
kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resiguru Demunawan. Sunda dan
Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan
Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Demikianlah
Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya
dari tahun 732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara
diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan
buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai
mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.
Sesuai
dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan sianghari
bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir,
termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam
gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger
Sunten menyerang keraton.
Kudeta
itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika
Sanjaya berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan
permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung
ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil
membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.
Akan
tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera
memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga
dan Manarah yang berakhirdengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan
yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam
kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.
Berita
kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di
Medang yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh.
Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan
yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu
sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan
yang pernah dipecundangi Sanjaya.
Perang
besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh
Rajaresi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam
perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan
kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian
Galuh tahun739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada
dalam satukekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan
pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi
ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup
atas kebaikan hati Manarah.
Untuk
memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit
Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa
Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja
Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan
Kancanasari, adik Kancanawangi.
Naskah
tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad
ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit
Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri
sebagai raja yang merdeka. Ia harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil
menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari
kedudukan sebagi raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739
- 766).
Manarah
di Galuh memerintah sampai tahun 783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam
tahun tersebut ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri dari
tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat, dan baru wafat
tahun 798 dalam usia 80 tahun.
Dalam
naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan. Tidak
saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua. Tapi, juga dalam
penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah
raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah
dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru
yang ditulis pada pertengahan abad 18.
Kekeliruan
paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai
pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Wijaya
dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat. Kekalutan itu dapat
dibandingkan dengan kisah pertemuan Walangsungsang dengan Sayidina Ali
yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad.
Keturunan
Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 -
852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus
alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda
ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan
pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat
perkawinan di antara para kerabat keraton:
Sunda -Galuh-Kuningan (Saunggalah).
Sri
Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda
yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang
puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun
permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri Darmawangsa, adik Dewi Laksmi
isteri Airlangga. Dan Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat
anugerah gelar dari mertuanya, Darmawangsa. Gelar itulah yang
dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.
Raja
Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya
sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu
Darmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi
antara Sriwijaya dengan mertuanya, Darmawangsa. Pada puncak krisis ia
hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena
harus "menyaksikan" Darmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja
Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan
itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar
bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti
Calcuta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Di bawah ini adalah urutan Raja-raja Sunda sampai Sri Jaya Bupati yang berjumlah 20 orang :
1. Maharaja Tarusbawa (669 - 723 M)
2. Sanjaya Harisdarma, cucu-menantu no. 1,(723-732 M).
3. Tamperan Barmawijaya (732-739 M).
4. Rakeyan Banga (739-766 M).
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M).
6. Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795 M).
7. Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6, (795-819 M).
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M).
9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 - 895 M).
10.Windusakti Prabu Dewageng (895 - 913 M).
11.Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M).
12.Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M).
13.Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).
14.Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M).
15.Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).
16.Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989 M).
17.Prabu Brajawisesa (989-1012 M).
18.Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).
19.Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M).
20.Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030–1042 M )
Kecuali
Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4) - Darmeswara (no. 7) yang hanya
berkuasa di kawasan sebelat barat Citarum, raja-raja yang lainnya
berkuasa di Sunda dan Galuh.
A.Kawali Ibukota Baru
1. Pusat Pemerintahan Berpindah-pindah
Bila
rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tumbuh secara
bersangsur-angsur, ini mudah dipahami karena banyaknya kelompok etnik
yang menjadi penduduk Indonesia. Rasa kesatuan etnik Sunda di Jawa Barat
pun tidak tumbuh serempak, melainkan berangsur-angsur.
Telah
dikemukakan bahwa keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga
pada tahun 852 tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan
Wuwus yang beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan
Rakeyan Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan
kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa
Buana. Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu
belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya
dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 - 895)
dibunuh oleh seorang menteri Sunda yang fanatik.
Karena
peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat
kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan
demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur
dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat
diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rom an raja baru yang pindah
tempat.
Ayah
Sri Jayabupati berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi
puteranya berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda
ke-22 dan ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh
dan raja ke-25, yaitu Prabu Guru Darmasiksa mula-mula berkedudukan di
Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci,
berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
Proses
kepindahan seperti ini memang merepotkan (menurut pandangan kita),
namun pengaruh positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan etnik di
Jawa Barat. Antara Galuh dengan Sunda memang terdapat kelainan dalam hal
tradisi. Anwas Adiwijaya (1975) mengungkapkan bahwa orang Galuh itu
"orang air", sedang orang Sunda "Orang Gunung". Yang satu memiliki
"mitos buaya", yang lain "mitos harimau".
Di
daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa tempat yang bernama
Panereban. Tempat yang bernama demikian pada masa silam merupakan tempat
melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus
"dilarung" (dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang Kanekes yang masih
menyimpan banyak sekali "sisa-sisa" tradisi Sunda, mengubur mayat dalam
tanah. Tradisi "nerebkeun" di sebelah timur dan tradisi "ngurebkeun" di
sebelah barat (membekas dalam istilah panereban dan pasarean).
Peristiwa
sejarah telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini menjadi satu
"Orang Air" dengan "Orang Gunung" itu menjadi akrab dan berbaur seperti
dilambangkan oleh dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (kura-kura
dan monyet). Dongeng yang khas Sunda ini sangat mendalam dan meluas
dalam segala lapisan masyarakat, padahal mereka tahu, bahwa dalam
kenyataan sehari-hari monyet dan kuya itu bertemu saja mugkin tidak
pernah (di kebun binatang pun tidak pernah diperkenalkan).
Dalam
abad ke-14 sebutan SUNDA itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat, baik
dalam pengertian wilayah maupun dalam pengertian etnik. Menurut Pustaka
Paratwan i Bgumi Jawadwipa, Parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan
oleh Purnawarman untuk Ibukota Tarumanagara yang baru didirikannya,
Sundapura. Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya karena
Sundapura mengandung arti kota suci atau kota murni, sedangkan Galuh
berarti permata atau batu mulia (secara kiasan berarti gadis).
2. Peran bergeser ke timur.
Dalam
abad ke-14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan
Galuh dan Saunggalah, yaitu Kawali (artinya kuali atau belanga).
Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung,
Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan
dengan Kawali. Dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang
bertetangga desa dengan Kawali).
Sebenarnya
gejala pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai nampak sejak masa
pemerintahan Prabu Ragasuci (1297-1303). Ketika naik tahta menggantikan
ayahnya (Prabu Darmasiksa), ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat
pemerintahan karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan
sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya Prabu
Citraganda, sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Ragasuci
sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya
Rakeyan Jayadarma. Menurut Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa
II sarga 3, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena
ia berjodoh dengan Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mereka
berputera Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama
Raden Wijaya, yang lahir di Pakuan.
Karena
Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih
lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur.
Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran
yang kemudian menjadi Raja Majapahit yang pertama.
Sementara
itu, kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena
Wijaya berada di Jawa Timur. Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera
Prabu Ragasuci, Citraganda, sebagai calon ahli warisnya. Permaisuri
Ragasuci adalah Dara Puspa, puteri Kerajaan Melayu, adik Dara Kencana
isteri Kertanegara. Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya.
Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah
selama enam tahun di Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di
Saunggalah. Dari 1303 sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di
Pakuan dan ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
Prabu
Lingga Dewata, putera Citraganda, mungkin berkedudukan di Kawali. Yang
pasti, menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340) sudah berkedudukan
di Kawali dan sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana.
Bisa disebut bahwa tahun 1333-1482 adalah Jaman Kawali dalam sejarah
pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal lima orang raja.
Lain
dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu
peninggalan Prabu Raja Wastu yang tersimpan di Astana Gede, Kawali.
Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di
kota Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai
"Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Prabu
Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu Maharaja
Lingga Buana yang gugur di medan Bubat dalam tahun 1357. Ketika terjadi
Pasunda Bubat, usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah
satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya
meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya Mangkubumi
Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda
Lalean, sedangkan dalam Babad Panjalu disebut Prabu Borosngora. Selain
itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan
resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas.
Setelah
pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu
Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun.
Permaisurinya yang pertama adalah Lara Sarkati puteri Lampung. Dari
perkawinan ini lahir Sang Haliwungan, yang setelah dinobatkan menjadi
Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri yang kedua adalah
Mayangsari puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari
perkawinannya dengan Mayangsari lahir Ningrat Kancana, yang setelah
menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Setelah
Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua diantara
Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik
kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu
Kencana. Jayadewata, putera Dewa Niskala, mula-mula memperistri
Ambetkasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian memperistri
Subanglarang. Yang terakhir ini adalah puteri Ki Gedeng Tapa yang
menjadi Raja Singapura.
Subanglarang
ini keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita
muslim murid Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi. Pesantren
Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu
Kancana. Subanglarang belajar di situ selama dua tahun. Ia adalah nenek
Syarif Hidayatullah.
Kemudian
Jayadewata mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda puteri Prabu
Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Galuh yang seayah ini
menjadi besan.
3. Ibukota kembali ke Pakuan
Kejatuhan
Prabu Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478 telah
mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rom an pengungsi dari kerabat
keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang
diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi. Ia
diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan
dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang
isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi raja
daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah
seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
Dalam
Carita Parahiyangan disebutkan "estri larangan ti kaluaran". Sejak
peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan
kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut "perundang-undangan"
waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan
laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan
pertunangan.
Dengan
demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan
dianggap berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan.
Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala) mengancam
memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan
keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama
mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta
Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu
Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini
(Jayadewata).
Dengan
peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana
berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk
berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal
di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali
lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
B. Raja-raja Pajajaran
1. Sri Baduga Maharaja
Jaman
Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu
Jayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 - 1521). Pada masa
inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam
prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali,
yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya
(Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang
kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya,
Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan
dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan
Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir
kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan
iring-iringan rom an raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Di
Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.
Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun.
Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu
Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi
raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga
mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya)
alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut
tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang
sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan
nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun
mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya
ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa
Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran
swaraga nira".
(Hanya
orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang
menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama
pribadinya).
Waktu
mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas
bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul)
waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi
yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat
kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang
gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang
hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa
orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai
silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya
saja):
"Di
medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu
Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau
negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia
berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih
Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua
pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia
senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di
seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di
pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran
Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga,
menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh
karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu
Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi.
Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".
Kesenjangan
antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang
diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung
jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi
adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya
("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga,
yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah,
orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu
Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi
dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu
adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga)
dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam
hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu
Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan
mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU,
sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu
Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan
demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu
dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh
Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian
kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai
pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu
Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Adakah
diantara rekan-rekan yang bisa bercerita lebih jauh tentang peritiwa
Bubat? Saya hanya dapat sekilas info dari Suaramerdeka yang menerangkan
sbb.:
"Perang
antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat.
Perang ini dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin
menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda
dan Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan, yaitu dengan
menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Maharaja Hayamwuruk. Nah Rom an
Kerajaan Sunda ini di gempur oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada yang
menyebabkan semua pasukan Kerajaan Sunda yang ikut rom an punah. Akibat
perang Bubat inipula, maka hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan
Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang".
Ada
sebuah pustaka yang bisa dijadikan rujukan, Guguritan Sunda, yang
Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat antara
Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah
Mada secara misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya
pustaka aslinya ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. Dan bagi yang tinggal
di USA, pustaka ini bisa dipinjam di Ohio University. Di Jerman mah
masih gelap -- belum diketahui).
Proses
kepindahan isteri Ratu Pakuan (Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh
pujangga bernama Kai Raga di Gunung Srimanganti (Sikuray). Naskahnya
ditulis dalam a pantun dan dinamai Carita Ratu Pakuan, yang diperkirakan
ditulis pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Naskah itu dapat
ditemukan pada Koropak 410 . Isinya adalah sebagai berikut
(terjemahannya saja):
Tersebutlah
Ngabetkasih bersama madu-madunya bergerak payung lebesaran melintas
tugu yang seia dan sekata hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton
di timur halaman cahaya putih induk permata cahaya datar namanya keraton
berseri emas permata rumah berukir lukisan alun di Sanghiyang
Pandan-larang keraton penenang hidup.
Bergerak
barisan depan disusul yang kemudian teduh dalam ikatan dijunjung bakul
kue dengan tutup yang diukir kotak jati bersudut bulatan emas tempat
sirih nampan perak bertiang gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke
Pakuan.
Bergerak
tandu kencana beratap cemara gading bertiang emas bernama lingkaran
langit berpuncak permata indah ditatahkan pada watang yang bercungap
singa-singaan di sebelah kiri-kanan payung hijau bertiang gading
berpuncak getas yang bertiang berpuncak emas dan payung saberilen
berumbai potongan benang tapok terongnya emas berlekuk berayun panjang
langkahnya terkedip sambil menoleh ibarat semut, rukun dengan saudaranya
tingkahnya seperti semut beralih.
Bergerak
seperti pematang cahaya melayang-layang berlenggang di awang-awang
pembawa gendi di belakang pembawa kandaga di depan dan ayam-ayaman emas
kiri-kanan kidang-kidangan emas di tengah siapa diusun di singa barong.
Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian barisan yang lain lagi.
Yang
dikisahkan dalam pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri
Baduga yang pertama (puteri Ki Gedeng Sindang Kasih, putera Wastu
Kancana ketiga dari Mayangsari). Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke
Pakuan bersama isteri-isteri Sri Baduga yang lain.
Tindakan
pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja
adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan
melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di
Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti
peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya
saja):
Semoga
selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun
kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan
sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan
ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka
diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea.
Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada
ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan
tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda
Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu
"dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif),
"kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan).
Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti",
"panggeureus reuma".
Dalam
koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang
Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka =
10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai
upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan
kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare
dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau
hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang
tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian
ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau
penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat
tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk
memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau
bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang"
(berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada
selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau
"penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak
yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan
"calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti).
Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya :
menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di
ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di
peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam
kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada
wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara.
Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan.
Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini
memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten"
(bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah
menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas
Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran
air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa
imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan
makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa
sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam
akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku
untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang
melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga
tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau
dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada
kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat
kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi
"gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas
perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang
tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga.
Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa
Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam
Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan
perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan
batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang
dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa
bebas pajak.
Untuk mengetahui lebih lanjut kejadian di masa pemerintahan Sri Baduga, marilah kita telusuri sumber sejarah sebagai berikut:
a. Carita Parahiyangan.
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi
purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta
tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina
urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".
(Ajaran
dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh,
baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara,
barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang
banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari
Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat
Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
Mereka disebut "loba" (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama
yang ada, lalu mencari yang baru.
b. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah
ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra
tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang
seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat
masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya
(Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi
Sunda (Jawa Barat)]
Ketika
itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di
Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak
yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan
datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung
Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke
Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak
berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat
besar. Akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa
itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan
untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat
dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih.
[Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari
mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki
Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri
Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar
Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga
masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa
diterima oleh penguasa Pajajaran].
Demikianlah
situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat
dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama,
pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan
dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang
kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut
sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira
100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor.
Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam (6) buah jung ukuran 150 ton dan
beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat
itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].
Keadaan
makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan
perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang
dijodohkan, yaitu :
1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan
Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511.
Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak,
Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan
Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan.
Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima
Portugis Alfonsi d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja merebut
Pelabuhan Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan
pihak Demak.
Pangeran
Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri
Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu
permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah
ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya
tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap
Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena
salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan
ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan
Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena
permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing
masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah
pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita
Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan
komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men"
(Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang
jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai
ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000
bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem)
dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah
Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh
dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf
Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa
gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya
Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya
dalam jaman Pajajaran.
Sri
Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga
Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39
tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang
Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.
Melihat
itu, jelas, bagaimana Rancamaya -- terletak kira-kira 7 Km di sebelah
tenggara Kota Bogor – memiliki nilai khusus bagi orang Sunda.
Rancamaya memiliki mata air yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu
Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno dengan pelataran
berjari-jari 7,5 m tertutup hamparan rumput halus dan dikelilingi rumpun
bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat pohon hampelas,
patung badak setinggi kira-kira 25 m dan sebuah pohon beringin.
Dewasa
ini seluruh situs sudah "dihancurkan" orang. Pelatarannya ditanami ubi
kayu, pohon-pohonannya ditebang dan makam kuno itu diberi saung. Di
dalamnya sudah bertambah sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti
dengan bata pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah dengan
dinding yang dihiasi huruf Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah
Punjung ini mungkin sudah dipopulerkan orang sebagai makam wali.
Kejadian ini sama seperti kuburan Embah Jepra pendiri Kampung Paledang
yang terdapat di Kebun Raya yang "dijual" orang sebagai "makam Raja
Galuh".
Telaga
yang ada di Rancamaya, menurut Pantun Bogor, asalnya bernama Rena
Wijaya dan kemudian berubah menjadi Rancamaya. Akan tetapi, menurut
naskah kuno, penamaannya malah dibalik, setelah menjadi telaga kemudian
dinamai Rena Maha Wijaya (terungkap pada prasasti). "Talaga"
(Sangsakerta "tadaga") mengandung arti kolam. Orang Sunda biasanya
menyebut telaga untuk kolam bening di pegunungan atau tempat yang sunyi.
Kata lain yang sepadan adalah situ (Sangsakerta, setu) yang berarti
bendungan.
Bila
diteliti keadaan sawah di Rancamaya, dapat diperkirakan bahwa dulu
telaga itu membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul
di sebelah utara jalan lama yang mengitarinya dan berseberangan dengan
Kampung Bojong. Pada sisi utara lapang bola Rancamaya yang sekarang,
tepi telaga itu bersambung dengan kaki bukit.
Bukit
Badigul memperoleh namanya dari penduduk karena penampakannya yang
unik. Bukit itu hampir "gersang" dengan bentuk parabola sempurna dan
tampak seperti "katel" (wajan) terbalik. Bukit-bukit di sekitarnya
tampak subur. Badigul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah
diduga bukit ini dulu "dikerok" sampai mencapai bentuk parabola. Akibat
pengerokan itu tanah suburnya habis.
Badigul
kemungkinan waktu itu dijadikan "bukit punden" (bukit pemujaan) yaitu
bukit tempat berziarah (bahasa Sunda, nyekar atau ngembang = tabur
bunga). Kemungkinan yang dimaksud dalam "rajah Waruga Pakuan" dengan
Sanghiyang Padungkulan itu adalah Bukit Badigul ini.
Kedekatan
telaga dengan bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa
Purnawarman, raja beserta para pembesar Tarumanagara selalu melakukan
upacara mandi suci di Gangganadi (Setu Gangga) yang terletak dalam
istana Kerajaan Indraprahasta (di Cire irang). Setelah bermandi- mandi
suci, raja melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat sungai.
Spekulasi
lain mengenai pengertian adanya kombinasi Badigul-Rancamaya adalah
perpaduan gunung-air yang berarti pula Sunda-Galuh.
2. Surawisesa (1521 - 1535)
Pengganti
Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan
juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan
sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen"
(pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali
pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan
hal ini.
Nagara
Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah
diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di
Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan
pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang
diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah
kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar
Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan
antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Dari
perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak
memegang satu) Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21
Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan.
Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan "Van
deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke
partij een behield".
Dalam
perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di
Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi
muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang
diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun,
pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk
ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351
kuintal).
Perjanjian
Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III.
Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah
dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat
Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga
dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi
kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim
armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak.
[Fadillah
Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia
pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan
demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu
Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung
keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barkta Zainal Abidin adalah
adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu
Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab
buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel
sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).
Barros
menyebut Fadillah dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis
untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil
(julukan Fadillah Khan sehari-hari).
Kretabhumi
I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung
Pase) terletak di puncak Gunung Sembung berdampingan (di sebelah
timurnya) dengan makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat (1913)
menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri
baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950).
Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah]
Pasukan
Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967
orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda.
Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang
ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan
pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten
beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.
Hasanudin
kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten
(1526). Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya
menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga
dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan
bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan
Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh
Laskar Pajajaran.
Bantuan
Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi
membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan
ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki
De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan
karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka
tahun 1527.
Ekspedsi
ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi
karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke
Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada
tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa
Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin
(dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa.
Coelho
terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat
ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan
yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil
meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal
untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang
menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di
ubah menuju Pedu.
Setelah
Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang
sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi
dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama
pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu
Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau
wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.
Meskipun,
Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan
Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat
kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana
tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon
pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan
Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.
Perang
Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani
naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan
Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian
timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan
Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena
kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat
pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya
menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan
bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas". Tombak dan anak
panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun
kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Sumedang
masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran
Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran
Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut
Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di
Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk
Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah
Cirebon.
Dengan
kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya
mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh
pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan
berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai
perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak
berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani
naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Fadillah
Khan dan Hasanudin (Bupati banten).
Perjanjian
damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk
mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa
pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan
kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun
tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan
lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia
kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya.
Dalam
suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian
damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa
hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan
penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah
Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12
tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan) buat
ayahnya. Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan
oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya
di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu
ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak
dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan
tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri
tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu
diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu.
Surawisesa
tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah
batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan,
yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan
batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu "penyempurnaan
sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan
upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya
dengan dunia materi.
Surawisesa
dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan
atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari
Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta
Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding
Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik
Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua
kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan
(dahulu Kawung Pandak). Di Muara Beres in bertemu silang jalan dari
Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari
Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman
dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak
11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude
Bantamsche weg)].
Surawisesa
memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat
prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di
Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang
menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad
Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan "petualangan"
Surawisesa (Guru Gantangan) dengan a cerita Panji.
3. Ratu Dewata (1535 - 1534)
Surawisesa
digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang
dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani,
Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara
sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya
makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah kiwari vegetarian.
Resminya
perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu
Dewata lupa bahwa sebagai tunggul negara ia harus tetap bersiaga. Ia
kurang mengenal seluk-beluk politik.
Hasanudin
dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian
Pajajaran-Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena kepatuhannya
kepada siasat ayahnya (Susuhunan Jati) yang melihat kepentingan Wilayah
Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara pribadi Hasanudin kurang
setuju dengan perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya berbatasan
langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan
khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan
pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya
sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda, terutama
gerakan pasukan Syekh Yusuf.
Menurut
Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi
serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak
dikenal asal-usulnya).
Ratu
Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah
mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang,
para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu,
ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan
kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus
gerbang Pakuan. [Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi Ranamandala
(medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang
diwariskan kepada cucunya].
Penyerang
tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati
Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet.
[Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada
tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia
ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh.
Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di
awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan
ini diperluas pada jaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada
Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja).
"Sang
Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama
Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan
ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada
semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang
menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat
isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat
(pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang,
memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan
menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
Amateguh
kedatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit"
(memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai
arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan
bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan
dalam arti ibukota.
Selain
hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut
lemah duwur atau lemah luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut
"bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di balik bukit,
melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di Cibungbulang merupakan
contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah
dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum
masehi}. Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya
terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane
dan Cipaku merupakan pelindung alamiah.
{Tipe
lemah duwur biasanya dipilih sama masyarakat dengan latar belakang
kebudayaan huma (ladang). Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor,
Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep
berdasarkan pengembangan perkebunan. Tipe lain adalah apa yang disebut
garuda ngupuk. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan
latar belakang kebudayaan sawah. Mereka menganggap bahwa lahan yang
ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri
sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan
dengan corak ini misalnya Garut, Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang
memiliki dua persyaratan tipe ini. Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri
menurut idealisme Pesisir Cirebon karena ia orang Sindangkasih
(Majalengka) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu
kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda ngupuk pada lokasi pusat
kota Sumedang yang sekarang}]
Gagal
merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke
utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedeng, Ciranjang dan
Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang
dilindungi oleh negara.
Sikap
Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman
itu tidak tepat karena raja harus "memerintah dengan baik". Tapa-brata
seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta
dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh
Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita
Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)
"Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan"
(Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya
penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu
disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian
berkomentar pendek "Samangkana ta precinta" (begitulah jaman susah).
4. Ratu Sakti (1543 - 1551)
Raja
Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang
ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras
bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan
melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih
dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan
keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Kemudian
raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu
mengawini "estri larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi yang sudah
bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu
tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari
tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar
pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana
menyerbu Pasurua dan Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti
dipusarakan di Pengpelengan.
5. Ratu Nilakendra (1551 - 1567)
Nilakendra
atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang
kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan
frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan
memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan
pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang
bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa
kelaparan telah berjangkit.
Frustasi
di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam
menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah
mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan
Tantra. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus
diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari
keadaan di sekitarnya. Seringkali, untuk mempercepat keadaan tidak
sadar itu, digunakan minuman keras yang didahului dengan pesta pora
makanan enak.
"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar"
(Karena
terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya
kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Selain
itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan
jalur-jalur berbatu ("dibalay") mengapit gerbang larangan. Kemudian
membangun "rumah keramat" (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi
bermacam-macam kisah dengan emas.
Mengenai
musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang
setia, ia membuat sebuah "bendera keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji").
Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini
tak ada gunanya dalam menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut
karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka
tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di
keraton).
Nilakendra
sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi
buku Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan
Hasanudin dengan puteranya Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang
tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Yusuf.
Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih
hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian).
Demikianlah,
sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan
dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang
ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.
6. Raga Mulya (1567 - 1579)
Raja
Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita
Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya
alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi
di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun
(=Panembahan) Pulasari. [Mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo,
Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari].
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 :
"Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala"
(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.
Sejarah
Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan
penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti (artinya saja):
"Waktu
keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad
tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".
Walaupun
tahun Alief baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633
M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu
memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab
dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari
Sabtu.
Yang
terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan, bahwa
benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi "penghianatan".
Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena "tidak memperoleh
kenaikan pangkat". Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan
Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus
menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan
saudaranya itu.
Kisah
itu mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan
betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat Siliwangi. Setelah
ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa
menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Dan
berakhirlah jaman Pajajaran (1482 - 1579). Itu ditandai dengan
diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja
dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana
Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten
karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama,
dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi
dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf
merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut
perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:
"Sang
Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu
Dewata.
(Sang
Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri
Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di
keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana
Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Kata
Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja
berarti Tahta. Dalam hal ini adalah tahta penobatanyaitu tempat duduk
khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka
itulah si (calon) raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi.
Tempatnya berada di kabuyutan kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai
dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap.
Batu tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan
atau batu ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti
balai-balai biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam
kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja,
Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis.
Sementara batu ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu
Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang
terjepit pohon).
Palangka
Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton
Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu
gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya
dengan kata sriman.